Perlu kita ketahui bahwa seluruh Nabi dan Rasul-Nya mendapatkan ujian dari Allah SWT kemudian mereka berhasil menghadapinya dan mendapatkan tempat yang mulia di sisi-Nya. Orang beriman pasti akan diuji dengan keburukan dan kebaikan selama ia masih hidup. Hal itu tidak lain untuk meningkatkan derajatnya di sisi Allah serta membuatnya menjadi pribadi yang tangguh dan penuh empati terhadap sesama manusia.
Ketika manusia dilahirkan di dunia, bahkan ketika masih di alam kandungan, ia sudah mengalami banyak ujian. Ia diuji dengan ibu yang mengandungnya. Apakah sang ibu dengan tulus menjaganya, memberinya asupan yang baik agar tumbuh sehat hingga waktu melahirkan tiba, atau sebaliknya, tak peduli, bahkan dengan tega menggugurkannya karena tak menginginkannya. Bagi orang beriman, hidup sejatinya adalah panggung ujian. Ujian itu tak mesti melulu berbentuk sesuatu yang buruk. Ujian bisa juga sesuatu yang baik. Allah SWT berfirman yang artinya:
“Setiap jiwa pasti akan mati. Dan, Kami uji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan; kepada Kamilah kalian kembali.” (QS al- Anbiya’ [21]: 35).
Mengenai ujian-ujian yang akan menghampiri kehidupan kita di dunia, Allah SWT telah memberikan kisi-kisinya di dalam Al Qur’an juga sabda Rasul-Nya. Oleh karenanya, jika hati dan lisan kita selalu basah oleh zikrullah, senantiasa mentadabburi Al Qur’an dan mengamalkanya, inshaa Allah kita semua mampu menghadapi ujian yang Allah berikan.
Dalam ranah pendidikan, kata-kata “ujian” tidak dapat dipisahkan baik bagi pendidik maupun peserta didik. Masih sering kita temukan problematika dalam keseharian proses pendidikan. Yakni pelajar menganggap bahwa belajar itu hanya untuk bisa menjawab soal-soal mata pelajaran yang diujikan. Padahal, makna pelajar lebih dari itu.
Ujian untuk belajar bukan belajar untuk ujian, ya itulah kalimat yang sering dinasehatkan kyai kami di pondok setiap menjelang ujian. Salah satu problematika yang ada pada dunia pendidikan adalah, banyak dari pelajar yang masih menganggap dan berprinsip bahwa belajar itu hanya sewaktu ingin menghadapi ujian saja, banyak yang menganggap bahwa belajar hanya supaya bisa menjawab soal-soal mata pelajaran saat ujian.
Mungkin kita pernah mendengar kalimat “kita makan untuk hidup bukan hidup untuk makan” kalimat ini memiliki arti dan makna yang hampir sama dengan kalimat di atas, kita sebagai manusia tentunya butuh makan dan minum untuk tetap bertahan hidup, dalam hidup kita tentunya mempunyai tujuan hidup, dan untuk menggapai tujuan dan bertahan hidup kita pastinya membutuhkan makan dan minum sebagai sumber kekuatan tubuh untuk tetap melanjutkan ibadah dan aktifitas dalam hidup ini. Maka benar adanya kalimat yang mengatakan bahwa kita makan untuk hidup bukan hidup untuk makan.
Demikian halnya dengan ujian untuk belajar bukan belajar untuk ujian, pada hakikatnya ujian adalah untuk menguji ilmu yang telah kita pelajari dan kita serap, untuk kemudian melanjutkan ke level selanjutnya yang lebih tinggi, dan untuk bisa menempuh dan melewati ujian tersebut, kita butuh persiapan, usaha, ketekunan, keikhlasan dan kejujuran dalam belajar, tidak hanya untuk menghadapi ujian dan mendapatkan angka yang bagus, karena angka hanya akan tertulis di atas kertas, yang akan kita siapkan dan kita bawa ke tengah masyarakat adalah ilmu dan manfaat bukan angka yang sudah kita dapat di sekolah atau universitas.
Banyak kejadian hidup yang harus kita maknai, dan tugas terbesar kita hidup pun untuk memaknai untuk apa hidup ini. Seluruh aspek yang kita lakukan berawal dari sebuah pemikiran. Perlakuan yang salah terlahir dari pemikiran yang salah pula. Maka kita harus menata pemikiran dengan rapi dan benar.
“Kita belajar untuk menjadi orang baik.” Dizaman yang modern dan serba canggih ini banyak kita temukan orang yang pintar sekali, namun akhlak dan tingkahlakunya tidak mencerminkan kepintarannya. Ada hakim diadili, ada polisi dipolisikan, ada dokter kampanye aborsi, ada penjual mengurangi timbangan, ada pejabat mengkorupsi, ada guru membodohi murid, ada murid mencelakai guru, ada pemimpin mengkhianati dan lain sebagainya. Kita yakin mereka semuanya telah belajar dan melalui tahapan ujian, sayangnya nilai belajar hanya berhenti pada sebuah angka yang tidak menjamin untuk menjadi insan mulia.
Orang tua yang baik pasti menyekolahkan anaknya untuk menjadi orang yang baik dan bermanfaat bukan? , maka jangan salah melangkah. Untuk apa pintar tapi korupsi dan menyusahkan orang lain? untuk apa pintar tapi selalu membuat kriminal? sebagai manusia kita dikaruniai fitrah untuk mengetahui dan memilih mana yang salah dan mana yang benar. Melangkah kejalan yang benar dan melangkah kejalan yang salah itu juga termasuk pilihan hidup kita. Negara-negara yang memiliki sistem pendidikan yang baik menganggap anak yang tidak bisa matematika lebih baik dari pada anak yang tidak bisa mengantri, karena tidak bisa mengantri adalah masalah sosial dan akhlak.
Di era modern saat ini, tentu orang yang hanya bermodalkan baik saja tidak cukup untuk kompeten dan bersaing. Butuh kualitas dan kreatifitas. Maka antara intelektual dan akhlak tentunya harus seimbang. Kyai kami dulu pernah menasehati, “Menuntut ilmu itu untuk menjadi orang baik, bukan hanya untuk menjawab soal-soal dalam ujian saja. karena belajar itu luas dan mencakup hal yang sangat banyak. Kalau kita hanya menjadi manusia yang pintar dan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam soal ujian saja, nanti akan menjadi pintar namun tak bermoral sehingga dapat dengan mudah membuat kejahatan. Oleh sebab itu jangan salah melangkah.” Wallahu a’lam,
Oleh: Ust. Ahmad Zulfiqar Azizurrahman Al Arif, S. Fil. I., M. IRKH
Unit: SMAI Al Azhar 7 Solobaru