Oleh: Ahmad Zulfiqar A.A.A., S. Fil. I., M. IRKH

“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya di malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, yang Kami berkati sekelilingnya karena hendak Kami perlihatkan kepadanya tanda-tanda Kami.  Sesungguhnya Allah Maha Mendengar. Maha Melihat.” (QS Al – Israa’: 1).

Di dalam kitab Risalah Lathifah Fi bayan Isra’ Wal Mi’raj karya Syaikh Abdul Shamad Al Falimbani. Isra’ Mi’raj merupakan dua gabungan dari kata “Isra’” dan “Mi’raj” yang artinya proses perjalanan dan naiknya Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Allah SWT. Isra’ secara bahasa bermakna “perjalanan” di malam hari, sedang menurut istilah adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha di Jerussalem. Sedangkan “Mi’raj” secara bahasa berarti “tangga”, dan secara istilah bermakna perjalanan Nabi SAW dari bumi menuju langit ke-tujuh hingga Sidratul Muntaha.

Isra’ dan Mi’raj, sejak kemunculanya, merupakan salah satu peristiwa unik dan kontroversial dalam sejarah peradaban Islam. Sehingga, dalam perkembangganya, Isra Mi’raj  menjadi salah satu persoalan teologis bagi umat Islam awal.

Di dalam Tafsir Al Azhar, menurut penjelasan Buya Hamka ayat ini menegaskan, bahwa Allah SWT sungguh memang telah memperjalankan Nabi Muhammad SAW pada waktu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang jauhnya kurang lebih 1.500 Km. Jarak yang biasanya ditempuh sekitar 40 hari dengan berjalan kaki atau unta, hanya ditempuh dalam 1 malam saja. Ini jelas tidak lazim, menyalahi kebiasaan dan akal sehat manusia kala itu (khariqul ‘adah).

Hamka mengajak kita untuk merenungi bunyi QS. Al – Israa’ ini lebih dalam, dengan penuh iman akan kekuasaan Allah, dengan begitu tidak akan ragu lagi bahwa yang dimaksud dengan hamba-Nya itu ialah diri Nabi Muhammad SAW. Ya, Muhammad yang hidup, Muhammad yang terdiri dari jasad dan nyawa.  Oleh sebab itu maka dia Isra` dan Mi’raj pastilah dengan tubuh dan nyawa, bukan terpisah antar keduanya, dan juga bukan mimpi ataupun khayalan. Apalagi kemudian Rasulullah SAW sendiri menjelaskan pula dengan sabdanya (Hadits) apa yang beliau alami itu.

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, berdasarkan sejumlah hadits Nabi SAW, sangat jelas bahwa Nabi Muhammad SAW mengalami Isra’ dan mi’raj dengan jasad dan ruhnya, dalam keadaan sadar, bukan dalam kondisi tidur seperti mimpi. Disebutkan juga perjalanan Nabi kala itu dilakukan dengan kendaraan tertentu yang disebut Buraq, yang dikisahkan kecepatanya melebihi kecepatan cahaya. Logikanya jika hanya ruh, maka tidak akan perlu kendaraan. Begitu juga makna QS. An – Najm: 18, bahwa Rasulullah SAW telah melihat tanda-tanda kebesaran Allah yang sangat agung. Jika kita lihat dalam kamus arab  “ra-â” berarti melihat, yakni melihat sebagai aktivitas manusia.

Inilah pendapat yang rajih, bahwa Rasulullah SAW memang  menjalani Isra’ dan mi’raj dengan jasad dan ruh beliau. Isra’ Mi’raj bukanlah isapan jempol atau mimpi Nabi SAW. Karena itulah ayat ini yang dimulakan dengan “Subhânalladzi”, yang memang untuk menunjukkan, bahwa Isra’ dan mi’raj adalah peristiwa agung, peristiwa yang menakjubkan, sehingga diabadikan kisahnya di dalam Al-Qur’an.

Dikisahkan, bahwa setelah mendengar berita tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj,  Abu Jahal melihat peluang baik untuk menyudutkan Rasulullah SAW. Ia pun meminta Rasulullah SAW untuk menjelaskan kepada kaumnya. Nabi SAW pun setuju dan menjelaskan secara terbuka peristiwa besar yang beliau alami yakni Isra’ Mi’raj. Banyak yang kemudian menolak kebenarannya, mengikuti Abu Jahal. Namun, banyak pula yang meyakini kebenaran kisah itu, karena Rasulullah SAW tidak mungkin berdusta.

Karena perstiwa Isra’ dan mi’raj berada di luar jangkauan akal manusia, maka ada yang menyatakan, bahwa Isra’ Mi’raj adalah adalah sebuah peristiwa yang harus diterima dengan iman dan tidak bisa diterima dengan akal, karena peristiwa itu memang tidak masuk akal.  Karena tidak masuk di akalnya, Abu Jahal menolak berita Isra’ dan mi’raj. Tetapi, sebaliknya, akal Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. bisa menerima kebenaran Isra’ Mi’raj tanpa meragukanya sedikitpun.

Provokasi Abu Jahal dan beberapa tokoh kafir Quraisy tidak mampu untuk membatalkan keimanan Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau cukup berlogika sederhana: Jika yang menyampaikan berita itu adalah Muhammad SAW, pasti kejadian itu benar adanya. Bahkan, lebih dari itu pun Abu Bakar ash-Shiddiq percaya. Jadi, Isra’ Mi’raj sangat masuk di akalnya Abu Bakar ash-Shiddiq, dan tidak masuk pada akalnya akalnya Abu Jahal.

 Karena dinilai tidak masuk akal atau tidak rasional, para ilmuwan sekuler tidak memasukkan  pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat ghaib/metafisik atau sesuatu yang diatas jangkauan akal, sebagai “ilmu” (knowledge). Tapi, itu dimasukkan ke dalam “dogma” atau “faith”. Mereka beranggapan Isra’ Mi’raj itu tidak ilmiah. 

Padahal, dalam Islam, informasi tentang sifat-sifat Allah, tentang Akhirat, tentang hari kiamat, kemudian adanya pahala dan dosa, tentang berkah, dan sebagainya, merupakan bagian dari Ilmu. Kisah tentang Isra’ Mi’raj adalah ilmiah, sebab disampaikan oleh sumber berita yang pasti tidak diragukan lagi kebenarannya, yaitu Al-Qur’an.

Informasi tentang nubuwwah Muhammad SAW, bahwa beliau menerima wahyu dari Allah SWT, adalah merupakan ILMU. Dalam QS. Ali Imran: 19 disebutkan, bahwa kaum ahlul kitab tidak berselisih paham kecuali setelah datangnya ILMU pada mereka, karena sikap iri dan dengki. Jadi, bukti kenabian Muhammad saw adalah suatu ILMU, yakni suatu informasi yang pasti diyakini kebenarannya.

Dengan demikian, informasi tentang hal-hal ghaib adalah ILMU dan “masuk akal”. Sebab, informasi itu dibawa oleh manusia-manusia pilihan yang terpercaya. Karena sumber informasinya adalah pasti, dalam Epistemologi Islam diebut “khabar shadiq/true report”, maka nilai informasi itu pun menjadi pasti pula.

Sebenarnya, fenomena semacam ini terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kita percaya, bahwa kedua orang tua kita sekarang ini, benar-benar orang tua kita, juga berdasarkan informasi dari orang-orang yang kita percayai. Karena semua orang yang kita percayai memberikan informasi yang sama – bahwa mereka adalah orang tua kita – maka kita pun percayai, meskipun kita tidak melakukan tes golongan darah atau tes DNA.

Dalam Kitab al-‘Aqaid al-Nasafiah karya Imam Al Nasafi, diawali dengan bimbingan cara berpikir dan cara meraih ilmu dalam Islam. Beliau menulis kalimat awal pada kitabnya: “Hakekat segala sesuatu adalah tetap; dan memahaminya adalah kenyataan; berbeda dengan pandangan kaum sofis”. Kaum sofis adalah kaum yang tidak percaya bahwa manusia bisa meraih ilmu. Mereka selalu ragu dengan segala pengetahuan yang diraihnya.

Syed Naquib Al Attas juga mengungkapkan tiga aspek manusia meraih ilmu, yaitu melalui panca indera, khabar shadiq (true report), dan akal. Konsep epistemology ini sangatlah penting untuk dipahami para pengkaji ilmu, khususnya para akademisi, dan juga setiap muslim. Kekeliruan dalam memahami konsep ilmu dapat menjauhkan manusia dari sa’aadah atau kebahagiaan sebab tidak pernah mengenal Tuhan Sang Pencipta.

Berita-berita tentang hal-hal yang bersifat ghaib itu bukanlah “irasional”, tetapi akal tidak mampu untuk menjangkaunya, maka akal yang sehat pasti akan menerimanya. Sebab, sumber beritanya didasarkan pada sumber-sumber terpercaya (true report/khabar shadiq) yaitu Qur’an dan Hadits. Maka, itu termasuk ILMU yang benar.

Walaupun akal kita tidak mampu mencerna secara langsung, kebenaran peristiwa Isra’ Mi’raj adalah ilmiah. Isra’ Mi’raj disebutkan dalam sumber yang pasti benar yakni Al-Quran. Maka, berita tentang Isra’ Mi’raj adalah ilmiah, dan merupakan ILMU yang sudah pasti akan kebenarannya, dan tugas kita adalah wajib mengimaninya dengan tanpa sebarang keraguan. Wallahu A’lam

(Kartasura, 18 Maret 2021).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kirim
Assalamualaikum Al Azhar IIBS
Mohon info lebih lanjut untuk pendaftaran murid baru
Terima Kasih