Makna Adab
Ketika mendengar kata “adab”, apa yang terbesit dalam benak kita?, mencium tangan kedua tangan orangtua kita, menunduk dan membungkukkan badan ketika berjalan dihadapan guru atau orang yang lebih tua dari kita, atau mungkin hal terkecil dalam keseharian kita makan menggunakan tangan kanan.
Kata Adab sudah dikenal dalam bahasa Arab sebelum datangnya Islam. Menurut Orientalis asal Italia, F. Gabrieli, maknanya berevolusi seiring perjalanan sejarah kebudayaan bangsa Arab. Pemaknaan tertua dari kata adab merujuk pada suatu kebiasaan norma tingkah laku praktis dengan konotasi ganda; pertama, nilai tersebut dipandang terpuji, dan kedua, nilai tersebut diwariskan dari generasi ke generasi. Hanya saja, nilai-nilai kebaikan yang diwariskan pada masa sebelum Islam merujuk pada realitas kesukuan dan kehidupan social masyarakat Arab ketika itu, baik yang bersifat universal maupun yang dipandang baik oleh masyarakat tertentu.
Pasca kedatangan Islam, bahasa Arab mengalami penambahan unsur-unsur spiritual dan intelektual dalam maknanya. Oleh karena itu makna Adab menjadi bermacam-macam. Pada awal Islam adab berarti pendidikan (al-tahdzib) dan budi pekerti (al-khuluq) sebagaimana banyak disebutkan dalam Hadits. Lalu pada masa Bani Umayyah adab juga bermakna pengajaran (al-ta’lim). Oleh karena itu orang yang mengajar tentang syair, khutbah dan sejarah orang-orang Arab disebut dengan muaddib. Kemudian pada masa Dinasti Abbasiyah adab berarti pendidikan sekaligus pengajaran (al-tahdzib wa al-ta’lim ma’an). Setelah itu adab lebih dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu tentang kesusastraan.
Dari perubahan makna yang terjadi hubungan antara makna itu tetap ada. Adab yang awalnya berarti norma atau etika yang harus dilakukan, diajarkan secara turun temurun. Namun yang perlu diperhatikan adalah unsur kebaikan dalam adab bukan berdasarkan kesepakatan suku tertentu, tapi berdasarkan nilai dan aturan dalam Islam. Proses inilah yang kemudian dikatakan sebagai pendidikan dan pengajaran.
Pergeseran makna adab dari pra-Islam sampai zaman Islam boleh dikatakan sebagai Islamisasi bahasa Arab. Menurut al-Attas, Islamisasi bahasa Arab terdapat dalam reformasi al-Qur’an terhadap struktur kosakata dasar yang pernah mewakili pandangan jahiliyyah tentang dunia, kehidupan, serta eksistensi manusia. Dapat dikatakan, ada nilai-nilai baru yang diusung oleh Islam dalam memaknai bahasa Arab sekaligus mengakomodir nilai lama yang senafas dengan Islam.
Meski para pakar bahasa Arab Muslim sepakat makna asal kata adab yang artinya “undangan”, namun mereka tidak memaknai adab sebatas makna asalnya. Mereka mereformasi makna adab dan menyempurnakanya dengan makna yang Islami. Ibn Manzhur misalnya dalam Lisanul Arab, ketika menyebut asal kata adab yang artinya “undangan”, maka maksudnya adalah menyeru, mengajak dan mengundang seseorang kepada setiap perbuatan terpuji dan mencegah dari segala yang buruk. Dia juga mengutip Hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud: “Inna hadzal Qur’ana ma’dubatullaahi….”, Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah jamuan dari Allah, maka belajarlah dari jamuan-Nya itu sesuai kemampuanmu. (HR. al-Thabrani)
Hadits ini memperumpamakan (tasybih) al-Qur’an dengan jamuan. Allah telah menyiapkan jamuan yang berisi kebaikan dan manfaat, lalu Allah mengundang manusia untuk merasakanya.
Makna adab telah disampaikan oleh banyak ulama. Al-Qusyairy menyatakan bahwa esensi adab adalah gabungan semua sikap yang baik. Oleh karena itu orang yang beradab adalah orang yang terhimpun sikap yang baik di dalam dirinya. Sedangkan menurut Ibnu Qayyim al Jauziyah, adab lebih dari sekedar sikap. Substansi adab adalah pengamalan akhlak yang baik. Karena itu, adab merupakan upaya aktualisasi kesempurnaan karakter dari potensi menuju aplikasi.
Hujjatul Islam al-Ghazali mengatakan adab adalah pendidikan diri lahir batin, yang terkandung di dalamnya empat perkara: perkataan, perbuatan, keyakinan dan niat seseorang. Dalam Islam aspek batin yang baik akan melahirkan perilaku yang terpuji, lisan maupun perbuatan. Sedang Al Jurjani mendefinisikan adab dengan pengetahuan yang menjaga pemiliknya dari berbagai kesalahan. Disini al Jurjani memposisikan adab sebagai pengenalan (Ma’rifat).
Dari definisi para ulama terlihat bahwa adab bukan lagi istilah yang berdiri sendiri, tapi berkaitan erat dengan konsep lain dalam Islam seperti ilmu, sikap, pengamalan, kebaikan dan keutamaan. Oleh karena itu tidak salah jika adab disebut sebagai kata yang singkat tapi padat (lafzhun qalil wa ma’nan jalil) bukan hanya sebatas makan dengan tangan kanan saja, adab lebih daripada itu. Bahkan orang yang main-main ketika shalat atau tidak khusyu’ dapat dikatakan ia tidak beradab. Wallahu a’lam bis Shawab.
Oleh: Al Ustadz Ahmad Zulfiqar A.A.A., S. Fil.I., MIRKH